Kamis, 02 Mei 2024
Selasa, 21 Juli 2020
Jika Perusahaan Mem-PHK Karyawan yang Dirumahkan
Tahun 2020 adalah tahun yang sulit, baik buat para pengusaha maupun para pekerja buruh,.
tidak di pungkiri gelombang besar PHK dan pengurangan karyawan merata ada di setiap wilayah negeri tercinta ini. Semua ini imbas dari adanya wabah virus Covid-19 yang pada bulan maret 2020 yang lalu mulai masuk ke wilayah NKRI.
Terlepas dari apakah Virus tersebut sengaja di buat atau tidak, namun kenyataanya imbas terbesar saat ini adalah buat para kaum buruh yang terancam dirumahkan bahkan lanjut ke tahap PHK.
Lalu bagaimana secara UU tenaga kerja yang mengatur masalah tersebut,.?
Berikut admin ambil contoh kasus dan jalan keluar menurut UU Ketenagakerjaan.
Perusahaan saya adalah kontraktor pertambangan. Pada bulan ini, HR Dept. kami mengeluarkan memo yang berisi tentang dirumahkannya sekitar 60% karyawan dari semua level baik itu karyawan PKWT dan PKWTT dari level non-staf maupun staf. Pertanyaan saya:
1. Bagaimana posisi perusahaan dan karyawan dari segi hukum yang berlaku?
2. Bagaimana metode yang harusnya digunakan perusahaan dalam pemenuhan kewajiban karyawan seandainya terjadi PHK atas seluruh atau sebagian karyawan yang dirumahkan tersebut?
Jawabanya sbb :
1. Sebelumnya, kami perlu menjelaskan bahwa istilah “dirumahkan” tidak dikenal dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Mengenai istilah “dirumahkan” ini, kita dapat merujuk kepada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja kepada pimpinan perusahaan di seluruh Indonesia No. SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal (butir f), yang menggolongkan “meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu” sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan sebelum melakukan pemutusan hubungan kerja.
Mengenai kewajiban pengusaha dan pekerja, Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengatakan bahwa sebelum ada putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengenai pemutusan hubungan kerja, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Kewajiban pengusaha antara lain yaitu membayar upah pekerja, dan kewajiban pekerja yaitu melaksanakan pekerjaannya.
Hal serupa diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-05/M/BW/1998 Tahun 1998 tentang Upah Pekerja yang Dirumahkan Bukan Ke Arah Pemutusan Hubungan Kerja (“SE Menaker No. 5/1998”). SE Menaker No. 5/1998 pada dasarnya mengatur bahwa:
1. Pengusaha tetap membayar upah secara penuh yaitu berupa upah pokok dan tunjangan tetap selama pekerja dirumahkan, kecuali telah diatur lain dalam Perjanjian Kerja peraturan perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama.
2. Apabila pengusaha akan membayar upah pekerja tidak secara penuh agar dirundingkan dengan pihak serikat pekerja dan atau para pekerja mengenai besarnya upah selama dirumahkan dan lamanya dirumahkan.
Jadi, dalam hal para karyawan “dirumahkan” berarti karyawan-karyawan tersebut masih berstatus pekerja di perusahaan (karena belum terjadi pemutusan hubungan kerja), yang harus digaji oleh perusahaan.
2. Kami kurang jelas dengan apa yang Anda maksud dengan “pemenuhan kewajiban karyawan”. Pada dasarnya, dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha, tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pemenuhan kewajiban karyawan. Oleh karena itu, mengenai hal tersebut Anda harus melihat kepada perjanjian kerja, peraturan kerja bersama, dan peraturan perusahaan.
Yang diatur dalam peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan adalah mengenai kewajiban perusahaan dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja.
Sebagai pihak yang memutuskan hubungan kerja, maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) (Pasal 156 ayat [1] UU Ketenagakerjaan). Mengenai besarnya uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian terdapat dalam Pasal 156 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan (sebagaimana telah dijelaskan Petra Y.N. Rajagukguk, S.H. dalam artikel Perhitungan Pesangon Pekerja Jasa Pemakaman).
Sedangkan, untuk pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”), maka berdasarkan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan, perusahaan sebagai pihak yang mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT, wajib membayar ganti rugi kepada pekerja sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja
Pasal 62 UU Ketenagakerjaan:
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Demikian jawaban dari kasus contoh yang ada disekitar kita, semoga informasi kecil ini dapat membantu mencerahkan teman2 buruh yang saat ini mencari jawabanya.
Terimakasih.
Admin SPLEM Dpplast
Dasar Hukum:
1.Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2.Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-05/M/BW/1998 Tahun 1998 tentang Upah Pekerja yang Dirumahkan Bukan Kearah Pemutusan Hubungan Kerja;
3.Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja kepada pimpinan perusahaan di seluruh Indonesia No. SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal.
Minggu, 23 September 2018
MUSNIK 1 FSP-LEM SPSI PUK PT DHARMA POLIPLAST
" MUSNIK 1 PUK PT DHARMA POLIPLAST "
Semangat pagi,. tidak terasa hari ini sabtu 22 september 2018 bertempat di GTC LEM di Bekasi telah dilaksanakan MUSNIK 1 dimana dalam agenda hari ini adalah laporan pertanggung jawaban kepengurusan yang lama periode 2015-2018 dan pemilihan kepengurusan yang baru periode 2018-2021. Berikut dibawah kumpulan moment perjalanan acara tersebut dari awal sampai selesai acara.
1. Pembukaan dan sambutan
Perwakilan managenen dan DPC
Sambutan DPC Kota Tangerang
Sambutan DPC Kab/Kota Bekasi
Sambutan ketua periode 2015-2018
Sambutan ketua panitia MUSNIK 1
2. Laporan pertanggung jawaban
Pembacaan laporan pertanggung jawaban
Peserta sidang MUSNIK
Fokus terhadap Visi Misi dan semangat perjuangan
3. Pembukaan sidang paripurna
Pembukaan oleh team formatur
Susunan panitia sidang tetap
Tamu undangan dari PUK Dharma group
4. Rapat komisi
Komisi A membahas tentang pendidikan dan pelatihan
Komisi B membahas tentang keorganisasian dan koperasi
5. Penyerahan hasil rapat komisi
Komisi A
Komisi B
6. Pemilihan pemungutan suara Pengurus SP LEM
Nama kandidat ketua terpilih
Team formatur dari perwakilan pengurus lama dan peserta
Ketua terpilih periode 2018-2021 Bung Wegig ( Lanjutkan )
7. Pelantikan pengurus baru periode 2018-2021
Pembacaan panca prasetya
Ucapan selamat oleh DPC Kab/kota Bekasi
Sesi foto bersama pengurus baru 2018-2021
8. Moment istirahat dan sudut gedung GTC LEM
9. Panitia Musnik 1 puk Dharma poliplast
Bapor LEM
Aktor dibalik layar
DPC Kota Tangerang dan Kab/Kota Bekasi
Team perumus
Menteri keuangan SP LEM
Demikian perjalanan singkat pelaksanaan MUSNIK 1 PUK PT DHARMA POLIPLAST. Semoga dikepengurusan yang baru bisa membawa iklim yang lebih sejuk dan apa yang diharapkan karyawan dan anggota bisa terlaksana dengan baik dan hasil akhir dari pencapaian organisasi adalah kekompakan dan perjuangan tanpa kenal lelah untuk mencapai tujuan organisasi.
SELAMAT KEPADA PENGURUS PUK PT DHARMA POLIPLAST
PERIODE 2018-2021 PLAN CIKARANG DAN KARAWACI
Senin, 27 Agustus 2018
PROBLEMATIKA BURUH DI INDONESIA
PROBLEMATIKA BURUH DI INDONESIA
Problem
Ketenagakerjaan di Indonesia sampai saat ini masih terkait dengan sempitnya
peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya SDA tenaga kerja, upah
murah dan jaminan sosial yang seadanya. Dan juga perlakuan yang merugikan bagi
para pekerja seperti penganiayaan, tindak asusila, penghinaan, intimidasi
sampai pelecehan seksual. Akhirnya banyak warga negara Indonesia yang menjadi
tenaga kerja di luar negeri dan ini pun menyisakan masalah dengan kurangnya
perlindungan dan pengawasan dari negara terhadap para tenaga kerja Indonesia
tersebut.
Indonesia
sebagai negara bercita-cita ingin mensejahterakan rakyatnya seperti yang
terkandung dan menjadi amanat dalam Pancasila dan UUD 1945 walaupun dalam
prakteknya belum bisa mewujudkan amanat ini terutama terkait dengan
permasalahan yang dialami oleh kaum pekerja/buruh. Akar permasalahan yang
terjadi pada pekerja/buruh masih terletak pada persoalan-persoalan hubungan dan
kesepakatan antara pengusaha dan pemerintah yang akhirnya berimbas kepada
pekerja/buruh dan masyarakat sebagai konsumen. Kasus gratifikasi dan
korupsi yang melibatkan pengusaha dan pemerintah akhirnya mengakibatkan
kelalaian dalam pengawasan dan penetapan keputusan yang pada akhirnya merugikan
kaum pekerja/buruh.
Problem
yang muncul akibat dari kelalaian pengawasan dan penetapan keputusan yang tidak
adil ini berupa :
- ProblemUpah.
Salah satu problem yang langsung menyentuh kaum buruh adalah rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan upah yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat sementara upah yang diterima relative tetap, menjadi salah satu pendorong gerakan protes kaum pekerja/buruh.
Sistem perburuhan di Indonesia mengacu pada sistem Hubungan Industrial Pancasila, dalam sistem ini kedudukan pengusaha dan pekerja/buruh adalah setara, memiliki tanggung jawab yang sama, saling menghormati dan saling memahami. Semua kepentingan harus dibicarakan secara musyawarah. Pemerintah berkepentingan terhadap masalah upah, karena upah merupakan sarana pemerataan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus terkait dengan kemajuan perusahaan yang nantinya berpengaruh pada perkembangan perekonomian nasional dana atau daerah. Untuk mengatasi permasalahan upah pemerintah biasanya menetapkan batas minimal upah/Upah Minimum Regional yang harus dibayarkan perusahaan kepada pekerjanya, walaupun penetapan UMK ini sebenarnya bermasalah kerena seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya peran jasa buruh dalam mewujudkan hasil usaha dari peruasahaan yang bersangkutan. - Problem Pemenuhan Kebutuhan dan
Kesejahteraan Hidup.
Aristoteles (filsuf Yunani) mendefinisikan kebutuhan mendasar manusia adalah semua kebutuhan dasar yang menyangkut dimensi manusia meliputi kebutuhan material, kesehatan, kebutuhan sosial (diterima masyarakat) hingga kebutuhan untuk meng-aktualisasi sebagai manusia. Implikasinya adalah setiap manusia berhak untuk secara leluasa mengambil inisiatif untuk memenuhi kebutuhannya. Hak pemenuhan kebutuhan hidup didasarkan pada fakta bahwa manusia adalah mahluk biologis yang memiliki kebutuhan dasar biologis meliputi kecukupan makanan, perlindungan, pakaian, perawatan medis dan pendidikan. Ketika para pekerja/buruh hanya memiliki sumber pendapatan berupa upah, maka pencapaian kesejahteraan bergantung pada kemampuan upah dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dalam kenyataanya, jumlah upah relatif tetap, sementara kebutuhan hidup selalu bertambah seperti biaya pendidikan, perumahan, sakit dll. Hal ini menyebabkan kualitas kesejahteraan rakyat termasuk pekerja/buruh semakin rendah. Seharusnya pemerintah tidak lepas tangan dari usaha pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya apalagi menyangkut kebutuhan pokok. - Problem Pemutusan Hubungan
Kerja.
PHK adalah salah satu persoalan besar yang dihadapi oleh kaum pekerja/buruh. PHK menjadi hal yang menakutkan bagi kaum pekerja/buruh dan menambah kontribusi bagi pengangguran di Indonesia. Dalam kondisi ketika tidak terjadi ketidakseimbangan posisi tawar menawar dan pekerjaan merupakan satu-satunya sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK menjadi bencana besar yang dapat membuat buruh menjadi traumatis. Problem PHK biasanya terjadi dan menimbulkan problem lain yang lebih besar dikalangan buruh karena beberapa kondisi dalam hubungan buruh-pengusaha. Sebenarnya, PHK bukanlah problem yang besar kalau kondisi sistem hubungan pekerja/buruh dan pengusaha telah seimbang dan adanya jaminan kebutuhan pokok bagi pekerja/buruh sebagaimana bagi seluruh rakyat oleh sistem pemerintahan yang menjadikan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat sebagai asas politik perekonomiannya. - Problem Tunjangan Sosial dan
Kesehatan.
Dalam masyarakat kapitalis seperti saat ini, tugas negara lebih pada fungsi regulasi, yakni pengatur kebebasan warga negaranya. Sistem ini tidak mengenal tugas negara sebagai pengurus dan penanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya. Rakyat yang ingin memenuhi kebutuhannya harus bekerja secara mutlak, baik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya maupun kebutuhan pelengkapnya. Jika seseorang terkena bencana atau kebutuhan hidupnya meningkat, ia harus bekerja lebih keras secara mutlak. Begitu pula ketika ia sudah tidak mampu bekerja karena usia, kecelakaan, PHK atau sebab lainnya, maka ia tidak punya pintu pemasukan dana lagi. Kondisi ini akan menyebabkan kesulitan hidup, terutama bagi rakyat yang sudah tidak dapat bekerja atau bekerja dengan upah yang minim sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. - Problem Lapangan Pekerjaan.
Kelangkaan pekerjaan bisa terjadi ketika muncul ketidakseimbangan antara jumlah calon pekerja/buruh yang banyak, sedangkan lapangan pekerjaan relatif sedikit, atau banyaknya lapangan kerja, tapi kualitas tenaga kerja pekerja/buruh yang ada tidak sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan. Kelangkaan pekerjaan ini dapat menimbulkan gejolak sosial, angka pengangguran yang tinggi dapat berakibat pada aspek sosial yang lebih luas.
Melihat
permasalahan ketenagakerjaan diatas, tentu saja membutuhkan pemecahan yang baik
dan sistematis, karena permasalahan tenaga kerja bukan lagi permasalahan
individu yang bisa diselesaikan dengan pendekatan individual, tetapi merupakan
persoalan sosial, yang akhirnya membutuhkan penyelesaian yang mendasar dan
menyeluruh. Persoalan yang sangat erat hubungannya dengan fungsi dan
tanggung jawab negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya harus
diselesaikan melalui kebijakan dan pelaksanaan oleh negara bukan diselesaikan
oleh pekerja/buruh dan pengusaha. Sedangkan masalah hubungan kerja dapat
diselesaikan oleh pekerja/buruh dan pengusaha. Menghadapi permasalahan yang ada
maka pemerintah tidak cukup dengan hanya merevisi perundang-undangan, melainkan
mesti mengacu kepada akar permasalahan ketenagakerjaan itu sendiri. Yang
terpenting adalah pemerintah tidak boleh melepaskan fungsinya untuk melindungi
dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya adalah hal ini kesejahteraan bagi
pekerja/buruh.