Selasa, 21 Juli 2020

Jika Perusahaan Mem-PHK Karyawan yang Dirumahkan



       
       Tahun 2020 adalah tahun yang sulit, baik buat para pengusaha maupun para pekerja buruh,.
tidak di pungkiri gelombang besar PHK dan pengurangan karyawan merata ada di setiap wilayah negeri tercinta ini. Semua ini imbas dari adanya wabah virus Covid-19 yang pada bulan maret 2020 yang lalu mulai masuk ke wilayah NKRI.
       Terlepas dari apakah Virus tersebut sengaja di buat atau tidak, namun kenyataanya imbas terbesar saat ini adalah buat para kaum buruh yang terancam dirumahkan bahkan lanjut ke tahap PHK.
Lalu bagaimana secara UU tenaga kerja yang mengatur masalah tersebut,.?

Berikut admin ambil contoh kasus dan jalan keluar menurut UU Ketenagakerjaan.

Perusahaan saya adalah kontraktor pertambangan. Pada bulan ini, HR Dept. kami mengeluarkan memo yang berisi tentang dirumahkannya sekitar 60% karyawan dari semua level baik itu karyawan PKWT dan PKWTT dari level non-staf maupun staf. Pertanyaan saya: 
1. Bagaimana posisi perusahaan dan karyawan dari segi hukum yang berlaku? 
2. Bagaimana metode yang harusnya digunakan perusahaan dalam pemenuhan kewajiban karyawan seandainya terjadi PHK atas seluruh atau sebagian karyawan yang dirumahkan tersebut?

Jawabanya sbb :

      1. Sebelumnya, kami perlu menjelaskan bahwa istilah “dirumahkan” tidak dikenal dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Mengenai istilah “dirumahkan” ini, kita dapat merujuk kepada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja kepada pimpinan perusahaan di seluruh Indonesia No. SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal (butir f), yang menggolongkan “meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu” sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan sebelum melakukan pemutusan hubungan kerja.

Mengenai kewajiban pengusaha dan pekerja, Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengatakan bahwa sebelum ada putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengenai pemutusan hubungan kerja, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Kewajiban pengusaha antara lain yaitu membayar upah pekerja, dan kewajiban pekerja yaitu melaksanakan pekerjaannya.

Hal serupa diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-05/M/BW/1998 Tahun 1998 tentang Upah Pekerja yang Dirumahkan Bukan Ke Arah Pemutusan Hubungan Kerja (“SE Menaker No. 5/1998”). SE Menaker No. 5/1998 pada dasarnya mengatur bahwa:
1. Pengusaha tetap membayar upah secara penuh yaitu berupa upah pokok dan tunjangan tetap selama pekerja dirumahkan, kecuali telah diatur lain dalam Perjanjian Kerja peraturan perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama.

2. Apabila pengusaha akan membayar upah pekerja tidak secara penuh agar dirundingkan dengan pihak serikat pekerja dan atau para pekerja mengenai besarnya upah selama dirumahkan dan lamanya dirumahkan.

Jadi, dalam hal para karyawan “dirumahkan” berarti karyawan-karyawan tersebut masih berstatus pekerja di perusahaan (karena belum terjadi pemutusan hubungan kerja), yang harus digaji oleh perusahaan.


        2. Kami kurang jelas dengan apa yang Anda maksud dengan “pemenuhan kewajiban karyawan”. Pada dasarnya, dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha, tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pemenuhan kewajiban karyawan. Oleh karena itu, mengenai hal tersebut Anda harus melihat kepada perjanjian kerja, peraturan kerja bersama, dan peraturan perusahaan. 
 
Yang diatur dalam peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan adalah mengenai kewajiban perusahaan dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja.
 
Sebagai pihak yang memutuskan hubungan kerja, maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) (Pasal 156 ayat [1] UU Ketenagakerjaan). Mengenai besarnya uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian terdapat dalam Pasal 156 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan (sebagaimana telah dijelaskan Petra Y.N. Rajagukguk, S.H. dalam artikel Perhitungan Pesangon Pekerja Jasa Pemakaman).
 
Sedangkan, untuk pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”), maka berdasarkan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan, perusahaan sebagai pihak yang mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT, wajib membayar ganti rugi kepada pekerja sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja
 
Pasal 62 UU Ketenagakerjaan:
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
 
Demikian jawaban dari kasus contoh yang ada disekitar kita, semoga informasi kecil ini dapat membantu mencerahkan teman2 buruh yang saat ini mencari jawabanya. 
Terimakasih.

Admin SPLEM Dpplast

Dasar Hukum:
1.Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2.Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-05/M/BW/1998 Tahun 1998 tentang Upah Pekerja yang Dirumahkan Bukan Kearah Pemutusan Hubungan Kerja;
3.Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja kepada pimpinan perusahaan di seluruh Indonesia No. SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal.

0 komentar:

Posting Komentar